Dalam
pengembangan kurikulum, diperlukan landasan-landasan sebagai asas dalam melakukan kerja pengembangan kurikulum pendidikan. Ini harus dijadikan
acuan bagi seorang perumus kurikulum, jika tidak maka hasil kerja pengembangan akan menyulitkan guna pencapaian terhadap
terwujudnya tujuan – tujuan pendidikan.
Penjelasan diatas dirumuskan dari definisi landasan itu sendiri yang mengandung arti
sebagai suatu gagasan atau kepercayaan yang
menjadi sandaran, sesuatu
prinsip yang mendasari,
Contohnya seperti landasan kepercayaan
agama, dasar atau
titik tolak untuk munculnya
ketaatan dalam bentuk lahir yakni ibadah. Dengan demikian landasan
pengembangan kurikulum dapat
diartikan sebagai suatu
gagasan, suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam melakukam kegiatan mengembangkan
kurikulum.[1]
Landasan dimaksud yaitu: (1) landasan filosofis; (2) psikologis; (3)
Sosiologis; (4) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
a.
Landasan Filosofis
Pandangan-pandangan filsafat sangat
dibutuhkan dalam pendidikan, terutama dalam
menentukan arah dan
tujuan pendidikan. Filsafat akan menentukan arah ke mana peserta didik akan dibawa. Untuk itu harus ada kejelasan tentang
pandangan hidup manusia atau tentang
hidup dan eksistensinya.[2]
Filsafat atau pandangan hidup yang dianut oleh
suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu
atau bahkan yang dianut oleh perorangan akan sangat mempengaruhi tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan
tujuan pendidikan sendiri pada dasarnya merupakan rumusan
yang komprehensif mengenai
apa yang seharusnya dicapai. Tujuan pendidikan memuat pernyataan-pernyataan
mengenai berbagai kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik
selaras
dengan sistem nilai dan
falsafah yang dianutnya.
Dengan demikian, sistem nilai atau filsafat yang
dianut oleh suatu komunitas akan
memiliki keterkaitan yang
sangat erat dengan rumusan tujuan pendidikan yang
dihasilkannya. Dengan kata lain, filsafat suatu
negara tidak bisa
dipungkiri akan mempengaruhi tujuan pendidikan di
negara tersebut. Oleh
karena itu, tujuan pendidikan di
suatu negara akan
berbeda dengan tujuan pendidikan di
negara lainnya, sebagai
implikasi dari adanya perbedaan
filsafat yang dianutnya. Pengembangan kurikulum membutuhkan
filsafat sebagai acuan atau
landasan berpikir. Kajian-kajian
filosofis tentang kurikulum akan
berupaya menjawab permasalahan-permasalahan sekitar:
(1)
bagaimana seharusnya tujuan
pendididikan itu dirumuskan,
(2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan, dan (4) bagaimana
peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan
peserta didik.[3]
Respon
terhadap
permasalahan tersebut akan
sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan
kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta
konsep-konsepnya yang meliputi konsep metafisika,
epistemologi, logika dan aksiologi berimplikasi terhadap konsep-konsep
pendidikan yang meliputi
rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan,
peranan pendidik dan peserta
didik.
b.
Landasan Psikologis
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam setiap
proses pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, baik lingkungan yang
bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju
kedewasaan, baik dewasa dari segi
fisik, mental, emosional, moral, intelektual, maupun sosial. Harus
diingat bahwa walaupun
pendidikan dan pembelajaran adalah upaya untuk mengubah perilaku manusia, akan tetapi tidak semua perubahan perilaku manusia/peserta didik
mutlak sebagai akibat dari
intervensi program pendidikan.
Perubahan perilaku peserta
didik dipengaruhi oleh
faktor kematangan dan
faktor dari luar
program pendidikan atau lingkungan.
Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses
perubahan perilaku peserta didik. Kurikulum diharapkan dapat menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial menjadi
kemampuan aktual peserta didik
serta kemampuan-kemampuan baru
yang dimiliki dalam waktu yang
relatif lama.
Pengembangan kurikulum harus
dilandasi oleh asumsi-asumsi
yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan
bagaimana perkembangan peserta didik,
serta bagaimana peserta didik
belajar. Kondisi Psikologis adalah
kondisi karakteristik psikofisik manusia sebagai individu yang dinyatakan dalam
berbagai bentuk prilaku dalam interaksinya dalam lingkungan. Prilakunya
merupakan cirri dari kehidupannya yang tampak maupun yang tidak tampak, yakni
prilaku kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum
yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan
merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu pribadi anak didik
berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan yang dalam term
tertentu disamakan dengan ilmu Jiwa Perkembangan, di dalamnya dikaji tentang
hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan anak, aspek-aspek perkembangan,
tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan
perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dan mendasari pengembangan kurikulum.
Untuk dijadikan landasan dalam mempertimbangkan bobot belajar pada
masing-masing tingkatan dan jenjang serta beban belajar yang mesti diselaraskan
dengan tingkat perkembangan psikologi dan kejiwaan peserta didik.[4]
c.
Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai
suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan
pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha
mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan
lebih lanjut di masyarakat. Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan
pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan
diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula.
Kehidupan masyarakat, dengan
segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus
acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita mengharapkan melalui pendidikan
dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena
itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan,
kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Karena setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya
tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota
masyarakat.
Ada dua pertimbangan sosial
budaya yang dijadikan landasan dalam pengembangan kurikulum: pertama, Setiap orang dalam masyarakat selalu berhadapan dengan masalah anggota
masyarakat yang belum dewasa dalam kebudayaan. Maksudnya manusia belum mampu menyesuaikan dengan cara
kelompoknya. Kedua, Kurikulum dalam setiap masyarakat merupakan refleksi dari
cara orang perfikir, berasa, bercita-cita atau kebiasaan. Karena itu untuk
membina struktur dan fungsi kurikulum, perlu memahami kebudayaan.[5]
Karena itu, para pengembang
kurikulum harus:
1)
Mempelajari dan memahami
kebutuhan masyarakat.
2)
Menganalisis
budaya masyarakat tempat sekolah berada.
3)
Menganalisis kekuatan serta
potensi daerah.
4)
Menganalisis
syarat dan tuntunan tenaga kerja.
Dari penjelasan tersebut dapat
diungkapkan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu,
turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan
datang. Penerapan teori, prinsip, hukum, dan
konsep-konsep yang terdapat
dalam semua ilmu
pengetahuan yang ada
dalam kurikulum, harus
disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya masyarakat
setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya.
Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan
masyarakat dan perkembangan masyarakat.
Disinilah tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Tujuh
fungsi sosial pendidikan, yaitu:1) Mengajar keterampilan, 2)
Mentransmisikan budaya, 3) Mendorong adaptasi lingkungan, 4) Membentuk kedisiplinan, 5) Mendorong bekerja berkelompok, 6) Meningkatkan perilaku etik, dan
7) Memilih bakat dan memberi penghargaan
prestasi.[7]
Faktor kebudayaan merupakan
bagian yang penting dalam pengembangan
kurikulum dengan pertimbangan: Pertama, Individu lahir tidak berbudaya,
baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap,
pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan
budaya, keluarga, masyarakat
sekitar, dan sekolah/lembaga pendidikan. Oleh
karena itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas
khusus untuk memberikan
pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut
kurikulum.
Kedua Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan
budaya. Aspek sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, seperti masyarakat
industri, pertanian, nelayan,
dan sebagainya. Pendidikan
di sekolah pada
dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi , berinteraksi dan
beradaptasi dengan anggota
masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai mahluk berbudaya. Hal ini
membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat untuk
mencapai tujuan pendidikan
bermuatan kebudayaan yang bersifat
umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.[8]
d.
Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sejak abad pertengahan ilmu
pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan
teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya
akan terus semakin berkembang. Dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan
masyarakat yang berpengetahuan dengan standar mutu yang tinggi.
Terlebih berkaitan dengan
teknologi komunikasi dan jaringan. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang
harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan sangat canggih, maka disinilah diperlukan kurikulum
yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan
belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih
dan menilai pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif
terhadap ketidakpastian karena berbagai penemuan teknologi baru terus
berkembang. Ilmu
pengetahuan adalah seperangkat
pengetahuan yang disusun secara sistematis
yang dihasilkan melalui
riset atau penelitian. Sedangkan
teknologi adalah aplikasi
dari ilmu pengetahuan untuk
memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupan.
Perkembangan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi
telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum
seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan
sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan
bersama, kepentingan sendiri dan kelangsungan hidup manusia.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan
teknologi secara langsung
berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup
pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan media pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi. Secara tidak langsung menuntut
dunia pendidikan untuk dapat membekali
peserta didik agar memiliki kemampuan memecahkan
masalah yang dihadapi
sebagai pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
dimanfaatkan untuk memecahkan
masalah pendidikan.
[2] Mudyahardjo
dan Azizah, Filsafat Ilmu Pendidikan. (Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 3
[4] Sudjana,
Pembinaan dan pengembangan kurikulum di sekolah. (Jakarta: Sinar Baru
Algesindo, 1989), hlm. 14-16
[7] Purwanto, “Ilmu Pendidikan Islam Dan Teoritis
Praktis.” (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 18-23
No comments:
Post a Comment